Rabu, 14 Januari 2009

About Me


Seperti seorang prajurit yang sedang mengumpulkan tenaga, kekuatan, dana untuk membeli amunisi yang baru untuk bertempur, memperoleh spirit, keyakinan untuk dapat berhasil di medan perang, pantang menengok kebelakang.

Tapi sepertinya ada sesuatu di depan sana yang sedang siap-siap menyerangku. Suatu cobaan yang dikemas cantik sehingga dapat mengelabui siapa saja.


Ya Allah, don’t let me fell down in the same hole

Hal yang sudah langka...


Minggu, 4 Januari 09

Hari ini aku pulang ke rumah. Untuk pertama kali aku pulang naik angkot dari Surabaya.
Sudah lama aku nggak naik angkot dan sudah lama sekali aku nggak pernah dengar seorang supir angkot mengucapkan “alhamdulilah” saat seseorang membayar ongkos naik angkot. Dia juga ngejawab pertanyaan dari penumpangnya dengan sabar
Dan nggak lupa meninggalkan sebuah senyuman saat sang penumpang berlalu meninggalkan angkot

Subhanallah...

Selasa, 13 Januari 2009

Durian, Enak juga lo!


Mengambil kesimpulan tanpa mengadakan observasi terlebih dahulu

Ya itu hal yang lumayan sering aku lakukan.
Sama kayak masalah durian ini. Sejak kecil sampai umurku 18 tahun, aku belum pernah sekali pun nyoba gimana rasanya buah yang difavoritkan mungkin mayoritas umat manusia di bumi ini.
Aku nggak abis pikir, buah yang baunya benar-benar egh... dan bikin pencernaan berontak ingin mengeluarkan seluruh elemen didalamnya bisa bikin penggemarnya rela berepot-repot menenteng buah yang tajem-tajem kulitnya itu.
Buat aku, durian nggak enak. Kenapa, padahal nyoba aja aku nggak pernah?
Ya dari baunya aja sudah bisa dipastikan.
Sampai suatu saat takdir mempertemukanku dengannya.
Durian yang berasal dari supermarket melayang ke mulutku dan meluncur ke rongga-rongga pencernaanku.
Ehm...
ehm...lumayan, tak seburuk yang aku bayangkan.

Eit, kejadian itu nggak ngerubah aku jadi penggemar durian. Tapi paling nggak aku nggak lagi menghakimi durian sebagai buah yang nggak enak dan bikin enek.

Kejadian durian ini mengingatkanku pada kejadian yang mirip.
Yaitu kejadian pada saat aku diperkenalkan pada rasa “kehilangan”. Dulu pada saat orang lain berjumpa dengan rasa kehilangan, aku selalu bertanya-tanya
Kenapa harus menangis?
koq segitunya sih!
biasa aja lagi!
Hingga akhirnya rasa itu datang menghampiriku.
Oh, begini rasanya kehilangan...
Akupun menangis dan tertawa disaat yang bersama. Menangis karena rasa kehilangan itu menghampiriku,sekaligun menertawai ucapanku dulu.
Tapi jika kau tak pernah menghampiriku, wahai sang “kehilangan”. Aku tak akan pernah belajar untuk lebih menghargai setiap orang disekelilingku, lebih bijaksana, dan tentunya lebih kuat dari sebelumnya.

Kita jatuh karena kita akan bangun sebagai manusia yang lebih kuat

Saat Aku Jatuh


Waktu itu aku berlarian bersama teman-teman di taman kanak-kanak.
Begitu menyenangkan.
Tiba-tiba aku terjatuh dan lututku terluka.
Aku menangis, ya aku hanya menangis. Kemudian ibu datang menghampiriku.
Menghapus air mataku dan denga sabar beliau mengobati lukaku.
Sesampainya di rumah, aku bertemu dengan ayah.
Dengan nada suara yang masih terisak-isak aku menceritakan kejadian pada saat aku jatuh tadi di sekolah.
Ayah membelai lembut rambutku dan menasihatiku pelan-pelan. Beliau berusaha membesarkan hatiku.
Kini aku sudah tak lagi duduk di bangku sekolah.
Tak ada lagi lutut yang luka. Aku sudah remaja mungkin beranjak dewasa.
Tak mungkin untukku terluka seperti itu. Tapi kini hatiku yang terluka. Lalu siapa yang berusaha mengobati luka dihati ini? Siapa yang akan berusaha membesarkan hatiku? Siapa yang akan dengan sabar menasihatiku?
Ternyata tetap mereka
Ayah dan Ibuku